Dok. arsitektur 2011

Tidak berlebihan rasanya jika lagu tersebut mengajak kita mlaku-mlaku (jalan-jalan) ke Tunjungan. Sebagai salah satu kawasan komersial yang cukup termahsyur di Surabaya, Tunjungan acapkali menjadi jujugan kalangan borjuis Belanda yang ingin bersantai sekaligus berbelanja pada zaman kolonial dahulu. Bahkan, sampai saat ini pun kawasan ini masih mampu mempertahankan statusnya sebagai salah satu pusat bisnis di kota ini.

Jalan Tunjungan telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang sejak abad ke-18. Pada masa itu, pemerintah Belanda merasa perlu melakukan pemekaran untuk memperluas wilayah kekuasaan di Surabaya. Pemekaran yang kemudian ditujukan ke arah Tunjungan itulah yang membentuk daerah ini berkembang menjadi area komersial. Perekonomian kota yang tumbuh stabil pada tahun 1906-1940 mendorong terjadinya perubahan bangunan dan tapak di koridor Tunjungan. Ketika kekuasaan di Surabaya beralih dari pemerintahan Belanda kepada pemerintahan Jepang pada tahun 1941-1945, kondisi koridor Tunjungan tidak mengalami banyak perubahan. Kondisi ini terus berlanjut sampai sekitar tahun 1970.

Pada tahun 1971-1997, dunia dilanda booming minyak. Hal ini tak pelak turut mempengaruhi perkembangan Tunjungan. Tunjungan berkembang pesat saat itu, akan tetapi karakter arsitektur asli bangunan komersial banyak ditutupi oleh tata informasi aluminium. Meskipun demikian, beberapa tahun ke belakang Jalan Tunjungan sempat terlupakan oleh masyarakat Surabaya sendiri. Banyak bangunan dengan arsitektur khas tempo dulu tidak dimanfaatkan kembali. Tunjungan sudah tidak lagi berjaya seperti dahulu.

Namun, belakangan ini Pemerintah Kota Surabaya sedang menggodok rencana tata kota terbaru agar Tunjungan kembali berjaya. Kepala Bappeko, Hendro Gunawan, mengakui adanya rencana pengembangan investasi di kawasan Tunjungan dan sudah ada investor yang masuk dalam perencanaan kawasan Tunjungan sebagai salah satu kawasan Central Business District (CBD). Jika rencana ini nantinya dapat terealisasi, mungkin saatnya kita mlaku-mlaku maneh nang Tunjungan. (*)

dwinurdadi.blogspot.com


Berkendara dari Jalan Praban menuju Jalan Genteng Kali ataupun dari Jalan Gemblongan ke arah Tunjungan, perhatian kita pasti langsung tertuju ke sebuah gedung mewah bergaya kolonial yang tampak mencolok di perempatan jalur tersebut. Gedung yang lebih

akrab kita kenal sebagai Siola ini kini telah berganti nama menjadi Tunjungan City. Meskipun telah mengalami proses peremajaan dan tampil lebih segar, kesan megah yang telah melekat pada bangunan ini sejak zaman kolonial masih terasa hingga kini.

Sejarah bangunan yang konon disebut-sebut sebagai gedung terindah di Hindia-Belanda ini dimulai sejak didirikan pada tahun 1923. Gedung ini awalnya merupakan fashion store yang diberi nama Whiteaway Laidlaw dan dikelola oleh pengusaha asal Inggris. Cabang-cabangnya sendiri sudah lebih dulu ada di beberapa kota di berbagai negara.
Gaung ketenaran toko ini tetap terjaga walaupun pada pergantian penjajahan di tahun 1943 dari bangsa Belanda ke bangsa Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, toko tersebut diambil alih oleh pengusaha Jepang dan diberi nama Chiyoda (yang saat ini terkenal dengan nama merk lampu).

Hampir beberapa tahun gedung Chiyoda dibiarkan tak terurus atau istilah Surabaya-nya “mangkrak” di pojokan Jalan Tunjungan. Sekitar akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an gedung ini direstorasi dan kejayaannya dimunculkan kembali dengan diberi nama Siola. Konsep penjualan yang ditawarkan sama dengan konsep penjualan mall. Jadi, Siola bukan terdiri dari toko-toko tapi satu mall yang menjual lengkap kebutuhan masyarakat Surabaya. Saat itu, Surabaya hanya mengenal konsep jual-beli pasar tradisional. Hadirnya konsep jual beli yang ditawarkan oleh Siola membuat kejayaan sejarah gedung ini kembali terulang.

Pada awal tahun 90-an, Siola mendapat saingan baru yang bermunculan satu per satu dengan konsep yang sama dan penawaran yang lebih menarik. Kejayaan Siola mulai redup dan akhirnya bangkrut. Sekitar tahun 2000-an Siola diganti dengan Ramayana, akan tetapi istilah Siola tetap ada dalam hati arek Surabaya.


Hingga kini, Siola menjadi landmark tersendiri bagi Kota Surabaya khususnya kawasan Tunjungan. (*)
Majalah ARCHISPACE ITS 2014. Powered by Blogger.