November ini, teman-teman dari HIMA STHAPATI bakal punya acara yang diberi judul ‘ndangak’ dengan tema Vertical City. Nantinya akan ada diskusi, pertunjukan musik dan bazaar.
Ada baiknya jika kamu sudah menyiapkan bahan, ide, atau  pertanyaan untuk sesi diskusi nanti agar wawasanmu tentang Vertical Citybertambah. Bagi yang belum punya bayangan apakah Vertical City itu, just search:Vertical City’ everywhere on the internet!
Mari kita lihat beberapa gambar yang saya temukan di Instagram ini:  


    
 



Berikut adalah gambar kota-kota dengan gedung-gedung tinggi yang berdekatan satu sama lain, sebut saja: Dubai, New York, Singapura, dan Hongkong. Sebuah daftar kota-kota kelas atas yang menjadi pusat perekonomian dunia. Kota yang penuhskyscraper yang digunakan untuk kantor, hotel, apartemen, plaza, dan lain-lain. Itukah definisi ‘Vertical City’ yang sebenarnya?
Mari beralih ke gambar ini:

Ini adalah gambar sebuah daerah kumuh di Rio de Janeiro, Brazil. Banyak bangunan yang berdiri  di atas tanah berkontur sehingga sebuah kota bisa terlihat seolah-olah meninggi. Karena kota Rio de Janeiro terletak di daerah perbukitan, inikah yang disebut ‘Vertical City’?


Lalu cermati gambar ini, sebuah kompleks apartemen yang banyak orang hidup ‘di atas’ orang lain. Orang-orang tersebut tentunya akan lebih sering bertatap muka secara vertikal daripada horizontal. Inikah yang dimaksud ‘Vertical City’?





Nah, dari gambar-gambar tadi, semoga ada sedikit bayangan tentang vertical city.Jika kamu tertarik, silakan datang dan pantau terus informasi dari HIMA STHAPATI, karena tempat dan waktu masih dirahasiakan. Simpan rasa ingin tahumu untuk ‘ndangak’! (wik/ers)

Bagi sebagian orang, arsitektur identik dengan bangunan modern yang dipasangi panel-panel kaca dan menerapkan bentukan geometri yang rumit. Semakin unik, maka semakin bagus. Artisitik, katanya. Apakah seperti bangunan di bawah ini :

MAXXI - Rome, Italy (Zaha Hadid)
www.nileguide.com

8 House - Copenhagen, Denmark (BIG)
http://www.pentaxforums.com

Atau justru cukup hanya bangunan yang dihasilkan dari bentukan sederhana, namun sesungguhnya sarat akan makna ?

Silodam - Houthavens, Amsterdam
tallerarquitectura3b.blogspot.com

Kebanyakan orang mungkin akan menilai Silodam sebagai bangunan yang sangat membosankan. Sekilas terlihat seperti balok raksasa yang sisinya dipercantik dengan permainan warna. Bahkan mungkin banyak orang berpikiran, bahwa tidak perlu menjadi seorang arsitek untuk mendesain bangunan ini. Penilaian berbeda mungkin akan diberikan terhadap dua bangunan teratas, dimana saat pertama melihat kita akan dibuat terkagum-kagum dengan permainan bentuk yang diterapkan. Rasanya predikat arsitektur jauh lebih pantas disematkan pada MAXXI dan 8 House. Disinilah kita seharusnya kembali berpikir, apakah selamanya arsitektur hanya dinilai dari bentukan luar semata ?
Jika berusaha melihat sedikit sejarah, bangunan legendaris sekelas Villa Savoye pun nyatanya adalah sebuah bangunan yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Penghuni merasa tidak nyaman di dalam rumahnya sendiri. Setelah ditinggalkan,Villa Savoye bahkan sempat menjadi kandang hewan ternak dan terancam dirobohkan. Hal ini tentu mengejutkan, dimana selama ini kita diarahkan kepada pemikiran akan kesempurnaan perwujudan arsitektur Modern dalam bangunan ini. Dalam kasus ini kemudian kita mendapat cerita bahwa Le Corbusier, arsitek dari Villa Savoye, ternyata memilih untuk mengabaikan keluhan dari penghuni rumah yang dituangkan dalam surat bertanggal September 1937 ini :


A letter from Madam Savoye to Le Corbusier 
“It’s raining in the hall, it’s raining in the ramp, the wall of the garage is absolutely soaked. What’s more, it’s still raining in my bathroom, which floods every time it rains.” (http://theaccidentalparisienne.wordpress.com/tag/villa-savoye)

Le Corbusier menolak untuk melakukan perbaikan terhadap struktur maupun sistem mekanikal di dalam bangunan, hanya demi mempertahankan bentuk yang telah ia pilih sebagai signature akan gagasannya atas arsitektur modern.
Villa Savoye - Poissy, France
www.archdaily.com

Jika begini, apakah arsitektur selamanya hanya merupakan perwujudan ego dari perancangnya ? Sebuah signature raksasa yang kemudian dipamerkan ke seluruh penjuru dunia ? Semua tentu kembali kepada tujuan kita nanti, ingin menjadi arsitek seperti apa ? Namun alangkah baiknya jika kita bisa memaknai arsitektur sebagai sebuah rancangan yang mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan dari penghuninya serta mempu merespons lingkungan yang ada diluarnya. Tidak sekedar bangunan yang didirikan tanpa pernah bertanggungjawab terhadap kondisi sekitar yang telah lebih dulu ada. Tentu akan memberi nilai lebih jika para arsitek mampu mengolahnya menjadi sebuah rancangan yang menarik dan memberikan pengaruh positif. Karena katanya, kecantikan yang sempurna adalah kombinasi dari inner beauty dan outer beauty.
Selamat merancang ! (adn)


Tulisan berdasarkan diskusi acara Pamer Karya, 1 November 2013, program kerja Departemen Seni dan Olahraga HIMA Sthapati Arsitektur ITS yang bertemakan Artistic Form.

Berusaha membangkitkan atmosfer arsitektur diluar ruang kuliah, belakangan menjadi pembakar semangat teman-teman dari HIMASTHAPATI untuk mengadakan diskusi kecil-kecilan. Sempat dilakukan pembicaraan mengenai beberapa topik diskusi, namun ketika menarik garis dari berbagai topik itu sendiri, nyatanya banyak dari kita yang tidak memahami arsitektur itu sendiri apa. Nggak akan pernah berada pada frekuensi yang sama dalam mendefinisikan arsitektur.

Sampai kemudian debat kusir kecil-kecilan tadi berakhir di sebuah kutipan dari seorang arsitek “Everything is architecture!” Percuma aja, mau kita debat sampai kapanpun garis kita tidak akan pernah sama dan kita semua pun tau. Lalu kemudian muncul ide untuk mengadakan diskusi mengenai Everything is Architecture. Ya, sesederhana debat yang tak berujung, dan sesederhana kehausan akademisi akan diskusi.
Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, video teaser sudah selesai dibuat, denganbackground kampus kita sendiri. Tweet-tweet dengan hashtag #EverythingIsArchitecture menghujani timeline saya seketika malam itu broo. Dan semuanya menarik, semuanya! Bahkan kemudian sukses menyenggol dosen dosen kita untuk join ngetweetnya.
Ini beberapa tweet yang saya anggap menarik, tenang, bukan tweet saya sendiri
Hidung adalah rumah untuk upilku, kuku adalah rumah untuk dakiku, mata adalah rumah untuk belekku. #everythingisarchitecture - @dyanwijasena, Mahasiswa Arsitektur ITS
definition are important, but the consequences are the one that are really does matter. #everythingisarchitecture - @endy_y_prasetyo, Dosen Arsitektur ITS
Tuhan-pun berarsitektur #everythingisarchitecture - @idanedan, Mahasiswa Arsitektur ITS
bagi saya masih … “arsitektur adalah (r)uang” #everythingisarchitecture - @rismabuana88, Alumni Arsitektur ITS
Kan. Dari background yang sama aja, definisinya berbeda-beda. Bagaimana jika dari belahan dunia yang jauh dari kata sama?
Dari jiwa-jiwa yang terusik, yang nyempetin ngetweet ditengah tekanan deadline, dalam waktu 5 hari persiapan diskusi #EverythingIsArchitecture sudah ready. Tapi terereng, jam dua siang ada deadline pengumpulan perancangan interior untuk angkatan 2011, dan jika saya tidak salah, ada kelas CAAD untuk angkatan 2012, apalagi… Ada rapat kurikulum dadakan di ruang dosen, sehingga kedatangan pembicara juga bikin galau.
Tapi tak lama kemudian acara dibuka Linda lewat basa basi ngobrolin apa itu arsitektur dari sudut pandang mahasiswa, yang kemudian akhirnya acara resmi dibuka oleh Andin, dan dimoderatori oleh Nisma. Diskusi dibuka oleh pertanyaan “arsitektur itu apa?” pertanyaan yang menurut saya sudah bisa merangkum seluruh isi otak muka-muka kebingungan yang sore itu menyempatkan diri duduk manis di Selasar Galeri jurusan.
Namun, sesungguhnya perjalanan menemui arsitektur itu panjang. Mas Rigan, salah satu pembicara diskusi sore itu, menganggap bahwa arsitektur itu proses. Awalnya ia adalah mantan calon mahasiswa elektro yang suka menggambar dan terdampar di pilihan keduanya, arsitektur. Siapa yang menyangka kalau kemudian Mas Rigan bisa menghasilkan karya-karya brilian yang mondar-mandir dari sayembara satu ke yang lain, hingga akhirnya ia melanjutkan kuliahnya di jenjang S2 di prodi Perancangan Arsitektur. Pak Endy di lain pihak juga berada pada frekuensi yang sama, bermodal suka menggambar berani menggambil resiko mengambil jurusan yang katanya akan merenggut kehidupan nyata kita haha. Pak Endy, mengutip Peter Eisenman, bahwa “The ‘real architecture’ only exists in the drawings. The ‘real building’ exists outside the drawings. The difference here is that ‘architecture’ and ‘building’ are not the same.” Arsitektur itu sebuah konsep, dimana konsep itu hanya ada dalam kertas gambar, kecuali kita membatasi arsitektur dalam lingkup ‘yang harus terbangun’. Keduanya adalah contoh-contoh produk sukses Arsitektur ITS, yang mana mereka pun berbeda persepsinya pada arsitektur.
Beberapa mahasiswa turut menyampaikan pendapatnya mengenai perjalanan berarsitektur, yang menyentil para pembicara ketika Mas Uzi mengungkit mengenai pemikiran Zumthor dalam bukunya thinking architecture yang kemudian menjadi kontradiksi tersendiri pada ideologi Eisenman, yang benar-benar menjauhkan arsitektur dari detail. Arsitektur itu keseluruhan, big frame, sementara Zumthor begitu menghargai gagang pintu rumah neneknya yang ia kunjungi sebagai sebuah apresiasi pada detail arsitektur. Bahkan hingga menyangkut mengenai publikasi arsitektur, apakah dalam arsitektur itu bisa diperjualbelikan? Apakah arsitektur itu bisa dihadapkan pada pertentangan idealisme dan tuntutan kehidupan? Baik pada konsep rumah murah yang mampu membangkitkan nama Yu Sing menjadi arsitek kenamaan, yang sebelumnya sempat di inisiasi oleh Adi Purnomo, mungkin bedanya hanya pada proses publikasinya. Bahkan kini ada arsitek yang menjual jasanya 10.000/m², yang kemudian namanya membesar hingga ke Jepang akan penjualan jasanya yang sangat murah. Namun, apabila ditarik garis, semua arsitek pasti berdefinisi, dan apa yang didefinisikan oleh pribadinya masing-masing akan menjadi sebuah akar pada prosesnya berarsitektur. Yu Sing pun yang memulai karirnya dengan sebuah artikel rumah murah juga, yang hingga kini menekuni arsitektur sebagai jembatannya pada pengabdian masyarakat.
Lalu kemudian, jika memang arsitektur itu general, dan tidak ada pernah yang sama, lalu mengapa kita mempelajari arsitektur yang tidak pernah satu irama? Atau bahkan untuk apa melakukan sebuah diskusi yang sebenarnya tidak akan menghasilkan kesimpulan? Dan jika kita bebas berdefinisi, sampai kapan? Apakah ada batas yang mengakhiri petualang kita berdefinisi?
Pak Endy dengan cantik menjawab, tanpa belajar arsitektur, tanpa mengadakan diskusi ini, kita tidak akan pernah tau bahwa arsitektur itu begitu banyak definisinya. Seperti tweet Mas Aryo dalam twitternya @mahaardika yang saya kutip berikut:
arsitektur itu lantai keramik, dinding cat, pakai plafon, atap genteng, ruangannya luas2 versi orang awam #everythingisarchitecture
arsitektur itu bangunan yg bentuknya bagus, material mahal, bersih, rapi, berteknologi mutakhir dll versi media #everythingisarchitecture
Dan mengenai batas, batas itu ilusi yang kita ciptakan sendiri oleh masing-masing individunya. Konteks yang kemudian membatasi pemikiran kita yang liar.
Ah, pada akhirnya saya tidak akan pernah mengerti. Dan biarkan saja arsitektur tetap menjadi minyak bagi bara api kehidupan kita semua, meski tak jelas minyak jenis apa dia bisa menyulut api begitu besar.
Tapi kemudian meski tak berkesimpulan, diskusi lalu sangat memuaskan, dan membuat ketagihan!
Saya mau lagi! #EverythingIsArchitecture (ast/blogpribadi)


Jurusan Arsitektur Plasa Rumput (8/04) – Seperti tahun sebelumnya, KPP (Kegiatan Pasca Pengaderan)  mahasiswa jurusan arsitektur kembali mendatangkan seorang arsitek ternama Indonesia. Jika pada KPP Elang -angkatan mahasiswa arsitektur 2011- mendatangkan Putu Mahendra sebagai narasumber dengan mengangkat tema ‘berpikir out of the box’, KPP Bekicot -angkatan mahasiswa arsitektur 2012- kali ini mendatangkan seorang tokoh arsitektur komunitas yang namanya telah bergaung hingga dunia internasional yaitu Eko Prawoto. Seorang arsitek dan seniman instalasi serta alumnus arsitekur Universitas Gadjah Mada yang saat ini juga aktif sebagai dosen Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Tidak banyak yang tahu apa itu arsitektur komunitas, karena jika dilihat dari asal muasalnya arsitektur ini awalnya bermula dan berkembang pesat di Kota Yogyakarta. Sementara di wilayah lain seperti Surabaya belum begitu terlihat. Saat ditanya apa itu arsitektur komunitas, Eko Prawoto tidak menjelaskan secara gamblang, namun lebih menjelaskannya melalui pemaparan fenomena-fenomena kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia. Beliau memberikan gambaran bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang tidak hanya terkomposisi atas makhluk-makhluk menengah ke atas, namun juga tidak terlupa mereka yang berada di golongan menengah ke bawah. Begitu pula dalam hal sasaran arsitektur. Arsitektur hadir bukan hanya untuk para kaum elite semata, namun juga hadir sebagai penolong kaum miskin untuk mencapai penghidupan yang lebih baik. Karena itu, arsitektur komunitas muncul sebagai pengubah paradigma arsitektur yang semenjak dahulu dikenal hanya melayani para kaum berduit.

Secara berseberangan, arsitektur komunitas ini hadir di tengah maraknya arsitektur komersil, yang iconic, yang akrobatik, dan yang berusaha menunjukan identitas personal arsitek yang merancangnya. Ini yang disebut Eko Prawoto sebagai narsisme para arsitek masa kini yang berusaha menunjukkan kehebatannya dalam merancang tanpa memperhatikan lingkungan di sekelilingnya. Sebagai bangsa yang dikenal dengan sifat kegotong-royongannya maka sudah seharusnya nilai kegotong-royongan itu juga dibawa dalam berarsitektur karena arsitektur menurut beliau dibangun bukan secara personal, namun bersama-sama secara komunal. Arsitektur bukan produk kerja keras individu tetapi produk hasil kerja sama oleh banyak tangan. Sebagai mahasiswa, memang sulit untuk mau memulainya, namun berusaha memahami selagi umur masih dini adalah langkah arif yang dapat dilakukan mulai dari sekarang. (ins)


Ruang Djelantik Jurusan Arsitektur - Minimnya ulasan mengenai karya-karya arsitek Indonesia, menjadi sebuah tantangan bagi seorang penulis arsitektur yang hadir di jurusan Arsitektur pada hari ini (1/4). Dalam rangka Archinesia Open Lecture, Imelda Akmal, yang dikenal sebagai salah satu penulis arsitektur yang concern mendokumentasikan berbagai karya arsitek tanah air ini berbagi pandangan dan pengalamannya selama menggeluti profesi penulis arsitektur.
"Mengapa arsitek harus menulis? Karena menulis adalah bentuk tanggung jawab moral atas desain yang telah dibuat oleh arsitek itu sendiri", ungkap Ibu Imelda saat menuturkan pentingnya budaya menulis di kalangan arsitek. "Karena setelah terbangun, bangunan itu tidak lagi milik sang arsitek ataupun project owner, tetapi sudah menjadi milik lingkungan dimana ia berdiri", tambah pemilik Imelda Akmal Architectural Writing Studio ini. Selain itu, beliau pun menyadari kelemahan masyarakat Indonesia untuk mendokumentasikan karya arsitektur di sekitarnya. Akibatnya, banyak terjadi ketidaktahuan masyarakat terhadap karya-karya arsitektur di Indonesia dan tidak sedikit pula karya-karya arsitektur yang musnah tanpa tertinggal sedikit pun bukti dokumentasi. Oleh karena itu, Ibu Imelda secara rutin menulis ulasan karya-karya arsitek Indonesia dan bahkan memperkenalkan tulisannya kepada beberapa arsitek besar dunia, salah satunya adalah Rem Koolhas.
Selain Ibu Imelda, hadir pula Ketua IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) cabang Malang, Nino Haris. Berbeda dengan Bu Imelda yang bergelut dalam dunia penulisan, beliau merupakan salah satu arsitek profesional yang telah mengerjakan beberapa proyek di Jawa Timur. Karya-karya beliau dapat disaksikan di kawasan wisata Goa Selomangleng (Kediri), Gedung Pabrik Nivea & Hansaplast (Singosari), Ruang Produksi Air Mineral PT. Ades Water Indonesia (Purwosari), dan beberapa rumah hunian di Malang dan sekitarnya. 
Nino menuturkan bahwa dunia profesi tidak jauh berbeda dengan dunia perkuliahan yang dipenuhi deadline dan presentasi. Namun terkadang, para fresh graduate sekarang sering mengalami kesulitan atas apa yang mereka hadapi di dunia kerja yang nyata karena bangku perkuliahan hanya sekedar menyampaikan teori dan sedikit menerapkan praktek. Maka Pak Nino berpesan kepada para calon arsitek agar tidak ragu belajar dari manapun dan dari siapapun untuk memperkaya pengalaman dan pengetahuan.
Acara yang dilanjutkan dengan diskusi terbuka ini juga melibatkan dosen Arsitektur ITS, Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch, sebagai pembicara. Dalam kesempatannya berbicara, beliau mengatakan bahwa di Indonesia terdapat fenomena 'takut menulis' yang dialami masyarakatnya. Bukan hal yang aneh, karena dalam pengalaman menulisnya pun beliau pernah mengalami hal yang serupa. Bapak Josef meyakinkan bahwa menulis memang merupakan suatu hal yang sulit, namun itu hanya lah di awal saja, karena ketika kita terbiasa untuk menulis, maka gagasan-gagasan akan terjejer dengan sendirinya dalam deretan kata-kata. (adn)

Plasa Rumput Jurusan Arsitektur - Model pembelajaran baru telah diterapkan dalam salah satu mata kuliah di jurusan Arsitektur ITS. Minggu ini, mahasiswa peserta Perancangan Arsitektur 2 (PA 2) terlihat sibuk mendirikan instalasi sebagai bentuk tugas 'naungan' PA 2 kali ini. Berangkat dari eksplorasi tema hingga proses transformasi bentuk, para mahasiswa kini telah masuk dalam tahap rancangan akhir berupa pembuatan maket. Hal yang berbeda dari tahun sebelumnya adalah ukuran maket yang dibuat tidak lagi 1:50, namun sesuai ukuran aslinya atau berskala 1:1.




Beberapa Maket dari Mahasiswa

Dalam pembuatan maket yang berlokasi di plasa rumput ini, para mahasiswa banyak belajar berbagai hal dalam perancangan, seperti struktur hingga kaitannya dengan material yang digunakan. Pemahaman ini ditunjukkan dalam sesi presentasi pada Hari Kamis (28/3), para mahasiswa menuturkan berbagai kekurangan dan kelebihan dari pemilihan material yang digunakan, strategi pendirian naungan agar dapat berdiri, hingga sistem struktur yang diterapkan. Seperti salah satu kelompok yang menuturkan kesulitannya dalam menghubungkan dua batang bambu, serta alasan mengapa pemilihan material menggunakan bambu tua dan bambu muda. Tentu setelahnya mahasiswa akan dibimbing kembali oleh para dosen asistensi agar proses pembangunan ini sesuai dengan prinsip-prinsip struktur dan arsitektural yang berlaku.
Koordinator PA 2, Bapak Andi Mappajaya menuturkan bahwa kesempatan bagi mahasiswa untuk mencari dan merasakan sendiri ini berhubungan dengan tiga hal yang menjadi metode dalam sistem pembelajaran di PA 2 sendiri, yaitu Learning - Doing- Experiencing. (adn)

Presentasi di Depan Dosen dan Asisten



Taman Bungkul - Hari Minggu lalu (24/3) bertepatan dengan salah satu program kerja dari HIMA Sthapati Arsitektur ITS yang bertajuk Arsitektur Menyapa 2, Archispace kembali hadir secara nyata dengan menghadirkan mading yang mengulas tema Disability. Artikel di dalamnya pun turut menyoroti tatanan kota dalam kaitannya dengan kebutuhan para penyandang disabilitas. Pemilihan isi artikel ini berhubungan dengan tema dari Arsitektur Menyapa dalam rangka roadshow menuju Arch Project 2013 yang akan datang.
Kehadiran kembali dari Archispace ini diharapkan mampu menghadirkan informasi yang menarik dan bermanfaat kepada seluruh masyarakat, baik dari mahasiswa Arsitektur ITS sendiri maupun khalayak luas. Archispace : Kami Kembali ! (red)


Para Mahasiswa beserta Prof. Yusti, Pak Bambang, dan Pak Endrotomo

Ruang Djelantik Jurusan Arsitektur –  Jurusan Arsitektur semakin mendukung kemudahan proses pembelajaran para mahasiswanya.  Pada selasa (19/3) sore kemarin, seorang profesor bidang psikologi dihadirkan di jurusan Arsitektur ITS untuk memberikan kuliah tamu pada mahasiswa semester empat. Hal ini berhubungan dengan tugas perancangan arsitektur empat yang mengangkat tema arsitektur perilaku.
“ Kuliah ini kami adakan untuk memfasilitasi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini agar lebih mengerti tentang karakteristik penghuni yang diberikan pada soal, ujar Bambang Soemardiono selaku dosen Koordinator perancangan arsitektur empat. Pada tugas perancangan ini mahasiswa dihadapkan pada permasalahan mengenai lingkungan pondok sosial yang di dalamnya mencakup anak jalanan, gelandangan, dan pengemis.
Pembicara sendiri merupakan seorang profesor yang merupakan ahli psikologi forensik. Beliau adalah Prof. Dr. Yusti Probowati, S.Psi. Pengalaman beliau terhadap masyarakat-masyarakat yang bermasalah dengan hukum, dimana di dalamnya adalah kelompok anak jalanan, dibagikan kepada para mahasiswa dalam suasana diskusi yang menyenangkan.
Menurut saya, mereka (anak jalanan dan kelompok gepeng) adalah orang-orang berkebutuhan khusus. Mereka butuh suatu cara untuk dapat kembali mengikuti norma sosial yang ada. Dimana jalan keluar seharusnya berupa rehabilitasi, bukan kurungan, beber Prof. Yusti. Beliau juga menambahkan bahwa peran arsitek sangat penting  dalam penentuan keberlanjutan hidup para anjal (anak jalanan)  dan gepeng (gelandangan dan pengemis) tersebut. Dimana sejauh ini desain dari lingkungan pondok sosial dan pantai rehabilitasi tidak mampu mewadahi aktivitas dan kegiatan daripara penghuni yang mampu mendukung proses rehabilitasi didalamnya.
Pada akhir kuliah, pemilik panti rehabilitasi Rumah Hati di Jombang ini berpesan kepada seluruh mahasiswa sekaligus para calon arsitek  yang hadir agar lebih memperhatikan masalah-masalah di luar perancangan termasuk masalah sosial. Dengan adanya kuliah tamu ini, mahasiswa akan mendapatkan sudut pandang baru terhadap permasalahan yang ada pada perancangan, dimana aspek sosial adalah hal yang harus diperhatikan selain desain yang bagus. (ai)


Jurusan Arsitektur - Minggu (17/3) merupakan hari bersejarah bagi para wisudawan / wisudawati di ITS. Setelah berkelut dengan tugas akhir, kini mereka telah resmi menyandang gelar Sarjana Teknik (ST) di belakang nama masing-masing.
Acara wisuda di ITS sendiri terbagi menjadi dua sesi, dimana sesi pertama adalah ceremony resmi yang dipimpin langsung oleh Rektor dan bertempat di Graha ITS. Selanjutnya, wisudawan / wisudawati akan dijemput para junior untuk diarak ke jurusan masing-masing.

Pada wisuda jurusan Arsitektur yang mengangkat tema "Like a Sir", maka beberapa gambar dibawah akan menceritakan bagaimana meriahnya acara pada hari Minggu lalu ini. (adn)




Suasana Wisuda di Jurusan Arsitektur

 



















Penyerahan plakat kepada para wisudawan / wisudawati oleh bapak dan ibu dosen

 


Hiburan oleh angkatan 2012 dan Bapak Bambang Soemardiono

Selamat Wisuda mbak - mas !

 Fotografi oleh : Sarah Inassari S, Biofanda Hutomo Putra, Adhitya J. Susena





Majalah ARCHISPACE ITS 2014. Powered by Blogger.