Plasa Rumput Jurusan Arsitektur - Model pembelajaran baru telah diterapkan dalam salah satu mata kuliah di jurusan Arsitektur ITS. Minggu ini, mahasiswa peserta Perancangan Arsitektur 2 (PA 2) terlihat sibuk mendirikan instalasi sebagai bentuk tugas 'naungan' PA 2 kali ini. Berangkat dari eksplorasi tema hingga proses transformasi bentuk, para mahasiswa kini telah masuk dalam tahap rancangan akhir berupa pembuatan maket. Hal yang berbeda dari tahun sebelumnya adalah ukuran maket yang dibuat tidak lagi 1:50, namun sesuai ukuran aslinya atau berskala 1:1.




Beberapa Maket dari Mahasiswa

Dalam pembuatan maket yang berlokasi di plasa rumput ini, para mahasiswa banyak belajar berbagai hal dalam perancangan, seperti struktur hingga kaitannya dengan material yang digunakan. Pemahaman ini ditunjukkan dalam sesi presentasi pada Hari Kamis (28/3), para mahasiswa menuturkan berbagai kekurangan dan kelebihan dari pemilihan material yang digunakan, strategi pendirian naungan agar dapat berdiri, hingga sistem struktur yang diterapkan. Seperti salah satu kelompok yang menuturkan kesulitannya dalam menghubungkan dua batang bambu, serta alasan mengapa pemilihan material menggunakan bambu tua dan bambu muda. Tentu setelahnya mahasiswa akan dibimbing kembali oleh para dosen asistensi agar proses pembangunan ini sesuai dengan prinsip-prinsip struktur dan arsitektural yang berlaku.
Koordinator PA 2, Bapak Andi Mappajaya menuturkan bahwa kesempatan bagi mahasiswa untuk mencari dan merasakan sendiri ini berhubungan dengan tiga hal yang menjadi metode dalam sistem pembelajaran di PA 2 sendiri, yaitu Learning - Doing- Experiencing. (adn)

Presentasi di Depan Dosen dan Asisten



Taman Bungkul - Hari Minggu lalu (24/3) bertepatan dengan salah satu program kerja dari HIMA Sthapati Arsitektur ITS yang bertajuk Arsitektur Menyapa 2, Archispace kembali hadir secara nyata dengan menghadirkan mading yang mengulas tema Disability. Artikel di dalamnya pun turut menyoroti tatanan kota dalam kaitannya dengan kebutuhan para penyandang disabilitas. Pemilihan isi artikel ini berhubungan dengan tema dari Arsitektur Menyapa dalam rangka roadshow menuju Arch Project 2013 yang akan datang.
Kehadiran kembali dari Archispace ini diharapkan mampu menghadirkan informasi yang menarik dan bermanfaat kepada seluruh masyarakat, baik dari mahasiswa Arsitektur ITS sendiri maupun khalayak luas. Archispace : Kami Kembali ! (red)


Para Mahasiswa beserta Prof. Yusti, Pak Bambang, dan Pak Endrotomo

Ruang Djelantik Jurusan Arsitektur –  Jurusan Arsitektur semakin mendukung kemudahan proses pembelajaran para mahasiswanya.  Pada selasa (19/3) sore kemarin, seorang profesor bidang psikologi dihadirkan di jurusan Arsitektur ITS untuk memberikan kuliah tamu pada mahasiswa semester empat. Hal ini berhubungan dengan tugas perancangan arsitektur empat yang mengangkat tema arsitektur perilaku.
“ Kuliah ini kami adakan untuk memfasilitasi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini agar lebih mengerti tentang karakteristik penghuni yang diberikan pada soal, ujar Bambang Soemardiono selaku dosen Koordinator perancangan arsitektur empat. Pada tugas perancangan ini mahasiswa dihadapkan pada permasalahan mengenai lingkungan pondok sosial yang di dalamnya mencakup anak jalanan, gelandangan, dan pengemis.
Pembicara sendiri merupakan seorang profesor yang merupakan ahli psikologi forensik. Beliau adalah Prof. Dr. Yusti Probowati, S.Psi. Pengalaman beliau terhadap masyarakat-masyarakat yang bermasalah dengan hukum, dimana di dalamnya adalah kelompok anak jalanan, dibagikan kepada para mahasiswa dalam suasana diskusi yang menyenangkan.
Menurut saya, mereka (anak jalanan dan kelompok gepeng) adalah orang-orang berkebutuhan khusus. Mereka butuh suatu cara untuk dapat kembali mengikuti norma sosial yang ada. Dimana jalan keluar seharusnya berupa rehabilitasi, bukan kurungan, beber Prof. Yusti. Beliau juga menambahkan bahwa peran arsitek sangat penting  dalam penentuan keberlanjutan hidup para anjal (anak jalanan)  dan gepeng (gelandangan dan pengemis) tersebut. Dimana sejauh ini desain dari lingkungan pondok sosial dan pantai rehabilitasi tidak mampu mewadahi aktivitas dan kegiatan daripara penghuni yang mampu mendukung proses rehabilitasi didalamnya.
Pada akhir kuliah, pemilik panti rehabilitasi Rumah Hati di Jombang ini berpesan kepada seluruh mahasiswa sekaligus para calon arsitek  yang hadir agar lebih memperhatikan masalah-masalah di luar perancangan termasuk masalah sosial. Dengan adanya kuliah tamu ini, mahasiswa akan mendapatkan sudut pandang baru terhadap permasalahan yang ada pada perancangan, dimana aspek sosial adalah hal yang harus diperhatikan selain desain yang bagus. (ai)


Jurusan Arsitektur - Minggu (17/3) merupakan hari bersejarah bagi para wisudawan / wisudawati di ITS. Setelah berkelut dengan tugas akhir, kini mereka telah resmi menyandang gelar Sarjana Teknik (ST) di belakang nama masing-masing.
Acara wisuda di ITS sendiri terbagi menjadi dua sesi, dimana sesi pertama adalah ceremony resmi yang dipimpin langsung oleh Rektor dan bertempat di Graha ITS. Selanjutnya, wisudawan / wisudawati akan dijemput para junior untuk diarak ke jurusan masing-masing.

Pada wisuda jurusan Arsitektur yang mengangkat tema "Like a Sir", maka beberapa gambar dibawah akan menceritakan bagaimana meriahnya acara pada hari Minggu lalu ini. (adn)




Suasana Wisuda di Jurusan Arsitektur

 



















Penyerahan plakat kepada para wisudawan / wisudawati oleh bapak dan ibu dosen

 


Hiburan oleh angkatan 2012 dan Bapak Bambang Soemardiono

Selamat Wisuda mbak - mas !

 Fotografi oleh : Sarah Inassari S, Biofanda Hutomo Putra, Adhitya J. Susena








Taman Bungkul, Minggu (10/3)“Pejamkan Matamu, Lihat Kotamu” adalah tema yang diangkat dalam Arsitektur Menyapa 2 yang menyoroti kelayakan fasilitas umum bagi masyarakat disabel. Taman Bungkul dipilih sebagai lokasi kegiatan dengan tujuan untuk mengumpulkan tanggapan dari masyarakat terhadap fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah kota di beberapa ruang publik bagi mereka yang memiliki kekurangan fisik atau yang biasa disebut disabel. Fasilitas yang disorot antara lain tangga, ramp, dan trotoar. Beberapa fasilitas itu disorot dari segi kelayakan, segi keselamatan hingga kemudahan aksesbilitasnya.


Berbeda dengan Arsitektur Menyapa sebelumnya, program kerja Departermen Hubungan Luar Masyarakat HIMA Sthapati kali ini melibatkan para pengunjung car free day Taman Bungkul untuk berpartisipasi dalam simulasi dimana partisipan memposisikan diri sebagai seorang tuna netra yang sedang menggunakan fasilitas tangga, ramp, dan trotoar.  Dari serangkaian kegiatan simulasi ini didapatkan komentar dari para partisipan. “Saya tidak pernah tahu sebelumnya ternyata pola garis di atas trotoar ini merupakan pemberi petunjuk bagi para tuna netra. Saya cukup kesulitan ketika harus berjalan mengikuti garis ini, terlebih harus terputus tiba-tiba akibat terhadang lubang drainase. Ternyata seperti ini yang dirasakan oleh mereka.”, ungkap salah satu partisipan saat mencoba berjalan di atas trotoar.  Begitu pula dengan simulasi berjalan di atas ramp. Hampir seluruh partisipan mengeluh kesulitan berjalan ketika harus melewati ramp tersebut. Baik dari segi kemiringan maupun material, ramp ini kurang memberikan kenyamanan bagi masyarakat disabel. Kemiringan yang curam serta finishing plesteran yang cenderung licin diyakini akan membahayakan para penggunanya.


Edukasi masyarakat melalui program simulasi ini dirasa lebih mudah dipahami masyarakat karena pengalaman langsung yang didapatkan. Dari simulasi ini, masyarakat, sebagai orang dengan fisik normal,  mampu mengkritisi dan memberikan gambaran bagaimana seharusnya fasilitas yang layak bagi para disabel. Melalui simulasi ini pula, testimoni masyarakat dihimpun untuk ditampilkan pada acara Arch Project 2013 Arsitektur ITS mendatang. (ins)


Ruang Djelantik Jurusan Arsitektur - “Seni dan teknologi adalah dua hal  yang saling membutuhkan. Teknologi mendukung terciptanya seni, sementara seni sebagai pusat ide terciptanya teknologi,” sebuah perkataan menarik dikeluarkan oleh Ridho Perwiro, alumni mahasiswa Arsitektur ITS serta pembicara, ketika membuka acara Share and Report : Vulnerable and Sophiticated Architecture, Jumat (15/2) silam.

Betapa eratnya hubungan antara seni dan teknologi mengakibatkan kedua hal itu tidak dapat dipisahkan khusunya dalam penciptaan sebuah karya arsitektur. Beberapa hal yang berhasil ia tangkap dari penciptaan karya arsitektur yang menggabungkan maupun tidak kedua unsur tersebut dibuktikan dengan sepenggal pengalaman yang ia alami selama bertugas di lokasi gempa Haiti 2012 dan kunjungannya ke School of Architecture and Planning, Massachusetts Institute of Technology (MIT) US.

Ketika berkunjung ke Haiti, ia menyadari bahwa jatuhnya korban yang tidak sedikit pada bencana gempa bumi merupakan suatu gambaran bagaimana bila teknologi tidak dikombinasikan pada seni bangunan di sana. Hasil amatan lapangan menunjukkan bahwa konstruksi bangunan yang digunakan warga Haiti cenderung apa adanya. Bahkan dengan alasan penghematan biaya, pendirian atap hanya menggunakan bata sejenis batako yang dicor sedikit. Semakin diperparah dengan kualitas material yang buruk sehingga bisa dikatakan bahwa bangunan di sana tidaklah layak dari segi kekokohan yang tentu mengancam keselamatan penghuninya.


Sangat kontras keadaannya ketika ia berkunjung ke sekolah arsitektur di MIT. Sebuah hal menakjubkan ia temukan ketika berkunjung ke Media Lab milik sekolah arsitektur bahwa seni dan teknologi sudah diterapkan secara bersamaan dalam karya arsitektur. Kedua unsur tersebut sama-sama dipikirkan secara matang sehingga karya yang dihasilkan pun tidak lagi terkotak-kotak antara seni dan teknologi. Pengerjaan karya arsitektur yang meleburkan dua unsur tersebut ternyata mampu mengumpulkan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu untuk bertukar pikiran dan berdiskusi. Hasilnya sebuah karya arsitektur yang mengagumkan mampu dihadirkan serta membuat banyak khalayak berdecak kagum dengan ide yang dimunculkan.


Berangkat dari pengalamannya ketika berkunjung ke MIT, Ridho melihat adanya sebuah celah potensi bagi ITS untuk mampu menerapkan hal yang serupa melalui Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM). Dari kegiatan PKM ini lah, mahasiswa diharapkan dapat terpacu untuk dapat menciptakan karya-karya baru yang berbasis seni dan teknologi. (ins)


“Kami meminimalkan kata minta tolong atau tidak bisa
namun memaksimalkan kata bisa dan mencoba”- Arina Hayati


Plasa Hima Jurusan Arsitektur ITS – Kehadiran penyandang disabel di sekeliling kita terkadang hanya dipandang sebelah mata. Bahkan lingkungan di sekitar kita pun terkesan meng‘anak-tiri’ kan mereka. Lalu bagaimana kah dengan kita sebagai mahasiswa arsitektur yang kelak akan turut berperan sebagai perancang yang harus mampu menyediakan fasilitas kepada semua pengguna secara merata bagaimana pun keadaannya ?

Diskusi sosial kebangsaan yang diadakan pada hari Rabu (6/3) di kampus Arsitektur ITS ini mengangkat tema “Untuk siapa desainmu ?” yang mengaitkan arsitektur dengan disabel. “Kami penyandang disabel adalah orang-orang yang harus bisa survive”, ungkap Iibu Arina Hayati. Pembicara sekaligus mantan dosen jurusan arsitektur yang kini tengah mengambil studi S3 ini adalah salah satu penderita disabel sejak berusia enam bulan. Mengalami keterbatasan ternyata tidak menyurutkan semangat Ibu Ariani untuk terus menempuh pendidikan – bahkan mencari pengalaman hingga ke Inggris dan Jepang. Pengalaman dan problematika yang dihadapi oleh ibu Arina inilah yang ingin dibagikan agar pandangan dari Mahasiswa Arsitektur ITS – sebagai salah satu pihak yang kelak akan terlibat dalam perancangan dan perencanaan – dapat terbuka. Karena tidak bisa dipungkiri, disabel ini tidak hanya menyangkut aspek fisik, namun jauh hingga aspek sosial dan lingkungan.

Sejauh ini tidak banyak ditemui fasilitas yang menunjang kebutuhan para disabel. Sekalipun ada, terkadang fasilitas dibuat tanpa memperhatikan standar yang berlaku. Sehingga akhirnya, fasilitas ini tidak dapat digunakan karena justru membahayakan penggunanya. Ke-tidak-bergunaan ini kadang terjadi karena pihak penyedia tidak mengkomunikasikan fasilitasnya dengan baik kepada pihak pengguna. “Arsitek harus totalitas dalam mengerjakan sesuatu, yang mana suatu rancangan harus bersifat universal design. Semua orang dapat menggunakannya tanpa terkecuali”, cetus Bu Arina. Hal ini tentu berhubungan juga dengan mengubah mindset dari kebanyakan masyarakat yang menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan dari penyandang disabel ini hanya lah memenuhi keingininan salah satu pihak. “Padahal akses yang disediakan bisa juga mempermudah kepentingan semua pihak, baik disabel maupun normal”, tambahnya.

Di akhir diskusi, Ibu Arina mengungkapkan harapannya kepada seluruh mahasiswa untuk peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Agar mampu menghasilkan rancangan sebagai hasil dari rasa empati, bukan simpati semata. “Mulailah merancang apapun sekarang secara totalitas. Pikirkan hal-hal kecil dan pahami lah semuanya dengan baik”, tutupnya. (adn)  
Majalah ARCHISPACE ITS 2014. Powered by Blogger.